09/02/08

Menggali Potensi Alam yang Terserak

-pelatihan kerajinan tangan-

Ilmu pengetahuan yang praktis dan manajeman yang baik adalah tangga dasar menuju usaha mandiri. Pelatihan kerajinan adalah jalan keluar untuk mengentaskan pengangguran dan memanfaatkan potensi alam.


Inilah landasan dasar munculnya inisiatif acara pelatihan kerajinan tangan di Kauman Kaloran Temanggung Jawa Tengah, 22-28 Pebruari lalu. Pengurus Pesantren Ridlo Allah, Kaloran yang menjadi fasilitator pelatihan ini sengaja mengundang trainer terkemuka dalam bidang kerajinan tangan, Julita Joylita, pengusaha dan pengelola Lembaga Pendidikan Terapan Masyarakat (LPTM) Surabaya. Selama lima hari, 30 warga, terdiri dari 20 ibu rumah tangga dan 10 pemuda terlibat serius membuat kerajinan tangan.

Julita, 39 tahun, adalah ketua LPTM Griya Eceng Gondok yang berdomisili di kampung Griya Kebraon Utama Surabaya. Lembaga ini berafiliasi dengan Klub Kalpataru Indonesia setelah Julita mendapat penghargaan Kalpataru oleh Presiden Republik Indonesia tahun 2004. Julita meraih penghargaan terhormat itu karena keberhasilannya menciptakan lapangan kerja dan memanfaatkan potensi lingkungan. Kedatangannya di Kaloran menyertakan dua orang stafnya, Suliyadi, 29 tahun dan Didin Hariyanto, 23 tahun.

Di kalangan bisnis handycraft (kerajinan tangan), nama Julita sudah tidak asing lagi. Perusahaan Julita saat ini sudah memiliki omset puluhan juta per-bulan. Bersama suaminya, Ir Herman Ratulangi, 44 tahun, Julita sering dipercaya oleh para bupati di Indonesia untuk melatih kerajinan tangan masyarakat. Bahkan, beberapa kali mereka melanglang ke beberapa negara di kawasan Asia sebagai pembicara seminar dan trainer. Materi pelatihan meliputi pembuatan tas, keranjang, baki, meja-kursi, tempat tisu, kopiah, sandal, tatakan gelas dll. Adapun bahan baku yang digunakan adalah eceng gondok, kedebok pisang, klobot jagung, daun lamtoro dll.

“Rasanya memang harus ada terobosan usaha. Maklum, di Kecamatan Kaloran ini pertanian serba nanggung. Kita berharap, kerajinan tangan ini bisa menjadi solusi kebuntuan usaha warga,” kata Makmun Yusuf, fasilitator dari pesantren Ridlo Allah. “Sebuah langkah yang bagus. Pemerintah mohon maaf karena kurang serius berinisiatif dalam hal-hal kreatif seperti ini. Yang jelas kami mendorong kegiatan ini dan kegiatan selanjutnya,” kata Bagus Panuntun, Camat Kaloran saat memberikan sambutan pelatihan. Menurut Bagus, usaha seperti ini harus terus digalakkan karena sangat banyak manfaatnya.

Produksi lalu pemasaran

Selama lima hari penuh, peserta nampak serius dan berharap mendapatkan sertifikat dari LPTM. “Kami sangat senang melihat ibu-ibu serius dan hasilnya memuaskan,” kata Herman yang bertugas mengevaluasi kualitas anyaman para peserta.

Menurut Herman, peserta dari Kaloran ini lumayan cerdas dibanding peserta daerah lain yang selama ini dilatih. “Jujur, kalau di daerah lain rata-rata kualitasnya hanya mencapai 60 %, di sini mencapai 90%. Semua potensial untuk maju,” katanya semangat. Apa yang dikatakan Herman tidak berlebihan karena para peserta sendiri memang sudah lama menunggu munculnya ide usaha baru yang realistis diterapkan masyarakat Kaloran. “Kami senang dan serius menggeluti kerajinan ini. Hanya saja kami butuh arahan untuk pemasaran,“ kata Siti Zaenah, 36 tahun, koordinator pelatihan.

Pangsa pasar kerajinan tangan sebenarnya cukup luas, -baik di dalam maupun luar negeri. “Produk apapun, asalkan berkualitas, tetap punya daya jual,” kata Herman optimis. Menurut Herman, pemasaran lewat internet adalah sarana yang paling ampuh untuk meraih pelanggan, terutama di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dll.

Setelah pelatihan, tahap produksi akan segera dimulai. Setelah produksi, pemasaran akan digalakkan melalui berbagai jaringan. Salahsatunya adalah jaringan teknologi informasi di weblog http://egondok.blogspot.com/. (Fm) Sumber Tabloid Stanplat Temanggung edisi Maret 2008


08/02/08

Kaloran bertekad jadi sentra kerajinan tangan

Harian Wawasan 8/02/2008/ TEMANGGUNG - Banyak orang membuang kulit jagung karena dianggap tidak berguna. Juga ada yang menjadikan kulit jagung sebagai pakan ternak. Namun ternyata, kulit jagung dalam sentuhan tangan-tangan terampil bisa berubah menjadi barang bernilai ekonomi tinggi.
Seperti yang kini dirintis di Kaloran, dimana barang buangan dibuat sebagai barang kerajinan disini. "Selain kulit jagung, pelepah pisang pun bisa diolah menjadi barang kerajinan yang bisa menghasilkan keuntungan".

Hal itu dikatakan Julita Joylita, dari Lembaga Pendidikan Terapan Masyarakat (LPTM) Surabaya di depan peserta pelatihan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kerajinan dari pemberdayaan tanaman enceng gondok di Dusun Kauman, Desa kaloran, Kecamatan Kaloran, Temanggung, kemarin, yang dihadiri sekitar 30 ibu rumah tangga setempat. Menurut Julita, yang pernah meraih penghargaan Kalpataru tahun 2004 dan beberapa kali mengikuti pelatihan serupa di luar negeri ini, pihaknya memberikan pelatihan gratis itu selama sepekan. "Potensi alam daerah mampu menyumbangkan nilai ekonomi bagi masyarakatnya jika dikelola dengan baik," katanya.

Di Kaloran, misalnya, terdapat banyak pelepah pisang dan tanaman jagung. Keduanya bisa diubah menjadi barang kerajinan dengan pangsa pasar sangat bagus. Antara lain tas, tempat makanan, dompet, dan aneka suvenir. "Di Surabaya banyak enceng gondok, sehingga bahan baku itu yang saya gunakan. Akan tetapi kulit jagung dan pelepah pisang pun bisa saya gunakan sebagai bahan baku kerajinan," katanya.

Menurutnya, yang terpenting masyarakat memiliki komitmen, kemauan, kerja keras dan tidak mudah putus asa. Dia berharap masyarakat setempat mau mengembangkan apa yang didapat dari pelatihan dengan tahapantahapan selanjutnya. Terutama masalah marketing karena merupakan kunci kelangsungan sebuah usaha. Selain untuk bekal keterampilan hidup, pelatihan ini, katanya, juga sekaligus menjadi solusi penyelamatan lingkungan. ""Belakangan penebangan hutan banyak dilakukan karena desakan ekonomi. Jadi seharusnya kita sendirilah yang mencari solusinya. Bukan terus melakukan penjarahan hutan yang terbukti berakibat sangat fatal seperti banjir dan tanah longsor," jelasnya.

Cari solusi
Faiz Manshur, pemrakarsa pelatihan itu mengatakan, gerakan lokal ini bertujuan mencari solusi pemberdayaan ma-syarakat dan menumbuhkan kekuatan ekonomi lokal, terutama sektor pertanian. "Kami berharap ini menjadi salah satu solusi kesulitan ekonomi rakyat di pedesaan. Hal semacam ini jarang disentuh pemerintah, maka ini coba kami lakukan," kata Faiz.

Menurut dia, pelatihan ini baru merupakan gebrakan awal. Dia memastikan masih ada tahap selanjutnya, yakni menerapkan pelatihan itu dalam keterampilan yang nyata di desanya. Masalah pemasaran sudah dipikirkan oleh panitia pelatihan. "Kami memilih bidang ini karena berdasarkan pengamatan kami, bidang ini memiliki prospek pasar yang cukup cerah," ujarnya.

Camat Kaloran, Bagus Pinuntun SSos menilai acara itu bagus untuk membuka wawasan warga pedesaan yang selama ini hanya bergantung pada sektor pertanian. Dia menyatakan rasa terima kasihnya yang dalam atas penyelenggaraan pelatihan itu. "Biasanya kalau pemerintah yang menyelenggarakan pelatihan semacam ini kerap tidak tuntas, tidak ada tindak lanjutnya. Jika pelatihan ini nantinya akan ditindaklanjuti, tentu kami sangat berterima kasih," katanya.

Dia berharap setelah usai pelatihan dilanjutkan dengan kegiatan produksi sekaligus menggarap marketing. "Supaya hal ini mendapat perhatian dari pemerintah, sebaiknya membentuk kelompok usaha kecil bidang kerajinan agar masalah permodalan bisa teratasi," katanya. Dia berjanji akan memantau perkembangannya hingga terbentuk sentra kerajinan. her/ad

06/02/08

Eichhornia Crassipes

Eichhornia crassipes
(Mart.) Solms, Pontederiaceae


Present on Pacific Islands? yes
Threat only at high elevations? no
Risk assessment results: Reject, score: 14 (Go to the risk assessment)
Common name(s): [more details]

English: Nile lily, water hyacinth

Fijian: bekabekairaga, dabedabe ne ga, mbekambekairanga, ndambendambe ni nga

French: jacinthe d'eau, pensée d'eau

Hindi: jal khumbe

Japanese: hoteiaoi

Maori (Cook Islands): riri vai

Palauan: bung el ralm

Spanish: aguapey, buchon, calamote, jacinto aquático, jacinto de agua, jacinto de rio, lechuguilla, liro de agua, tarulla

Habit: aquatic herb
Description: "A perennial aquatic herb; stems short, floating or rooting in mud, rhizomatous or stoloniferous, rooting from the nodes; roots long, sometimes dark because of their purple anthocyanin, pendant; leaves in a rosette; petioles spongy, in young specimens short and with a one-sided swelling or inflation but up to 30 cm long when older, tapering and narrowing from the bulbous base to the point of attachment with the lamina; lamina circular to kidney-shaped, glossy smooth, 4 to 15 cm long and wide, acting as a sail in the wind; inflorescence in spikes with about eight flowers, long peduncled, bibracteate, the lower bract with long sheath and small lamina, the upper almost entirely included within the sheath of the lower one, tubular with a small pointed tip (apiculate); flower-bearing part of the rachis up to 15 cm or less long; entire scape may be 30 cm; perianth six-lobed, united below into a narrow tube, lilac, bluish purple or white, the upper lobe bearing a violet blotch with yellow center; stamens six, three long, three shorter, attached to the tube; capsule membranous, three-locular, dehiscent, many-seeded, as many as 50 or so per capsule; seed ovoid, ribbed, 0.5 to 1 mm. The species is distinguished by the almost one-sided swelling or inflation of the petiole, its long peduncled bibracteate spike, and its upper perianth blotched with yellow at the center" (Holm et al., 1977; p. 72).
"Rooted only at flowering time by long slender roots; otherwise floating, with thick, fleshy, more or less horizontal roots; leaves clustered, on bulbously inflated petioles, blades rounded or oblong, up to 3-4 inches wide; flowers showy, pale violet with a spot of bright yellow on the large upper lobe, some forms with pink and yellow flowers, all parts edible" (Stone, 1970; p. 116).
Habitat/ecology: Freshwater lakes, ponds, marshes, ditches, canals, slow-moving streams. "It is an aquatic floating weed. It does not tolerate brackish water (Holm et al., 1977; pp. 72-77) and salinity can limit or modify its distribution. For example, water hyacinth, which accumulates in the coastal lagoons of West Africa during the wet season, is reduced in those areas which become saline during the dry season. Growth by water hyacinth is favored by nutrient rich water, in particular by nitrogen, phosphorus and potassium" (Ecoport). "High growth rates mean populations can quickly form thick mats on the water surface. This makes passage by boats difficult, chokes irrigation channels, pollutes water and provides breeding grounds for disease-carrying insects. The natural beauty of areas is also degraded as native plants, birds and fish are displaced." (Smith, 2002; p. 82).
In Hawai‘i, "introduced as an ornamental, now naturalized and locally abundant in standing or slow-moving water such as ponds and sluggish streams at low elevations" (Wagner et al., 1999; pp. 1604-1606). In Fiji, "a locally abundant adventive, occurring near sea level (but elsewhere up to an elevation of 1,600 m or higher)" (Smith, 1979; pp. 175-176). In New Caledonia, "peu cultivée à présent, existe en masses serrées là où des rivières à courant faible ou des mares lui offerent des stations favorables mais n'obstrue pas les cours d'eau autant qu'en d'autres pays tropicaux" (MacKee, 1994; p. 118). In New Zealand, "An established escape from ponds and aquaria, now eradicated from many localities. E. crassipes was originally introduced as an ornamental, but it both accidentally escaped from cultivation and was deliberately planed, and by 1950 was established and troublesome in dams, ponds, swamps, slow-moving streams and river cut-offs in the Auckland Province" Possession of the plant in New Zealand is illegal (Healy & Edgar, 1980; p. 60).
Propagation: "Water hyacinth reproduces vegetatively by means of stolons which, together with solitary plants or drifting mats, are readily distributed by water currents, wind, boats and rafts. The plant also produces vast quantities of long-lived seed and persistence and spread by this means can be very significant (Sculthorpe 1971)." (Ecoport). "Spread throughout its range by intentional introductions as an ornamental" (Smith, 2002; p. 82).
Native range: Amazon basin, now introduced and cultivated in most warm countries.

More details http://www.hear.org/pier/species/eichhornia_crassipes.htm